Connect with us

Nasional

Eco-Kebudayaan, Jalan Bali Menolak Jadi Korban Neoliberalisme

Published

on

Denpasar— Museum Agung Pancasila, Renon, kembali menjadi ruang lahirnya perbincangan kritis soal arah bangsa. Sabtu (4/10), dua sosok “pendekar hukum” hadir dalam forum diskusi kebangsaan: Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Arif Hidayat, S.H., M.S. dan Ketua Pansus Tata Ruang, Aset Daerah dan Perizinan (TRAP) DPRD Bali, I Made Supartha, S.H., M.H.

Pendiri Museum Bung Karno, Ida Bagus Dharmika alias Gus Marhaen, menegaskan forum ini bukan sekadar seremonial intelektual, melainkan upaya mencari jalan keluar atas krisis kebangsaan, khususnya bagaimana Bali mempertahankan jati diri di tengah kepungan modal besar dan kepentingan global.

“Topik utama kita adalah menambah kekuatan APBD Bali sekaligus menjaga keharmonisan Bali agar tidak digerus kepentingan luar yang hanya ingin menjadikan Bali pasar bebas,” ujarnya.

Prof. Arif Hidayat memantik perhatian ketika membahas Putusan MK Nomor 90 dengan standing opinion yang justru melawan arus putusan mayoritas. Sikap itu menegaskan bahwa hukum tidak boleh dijadikan alat politik praktis.

“Putusan yang berbeda harus dipandang sebagai upaya menghadirkan keadilan substantif, bukan sekadar angka mayoritas,” tegasnya.

Diskusi meluas ke soal tata ruang Bali, khususnya pasca-bencana banjir yang memperlihatkan rapuhnya fondasi pembangunan.

Prof. Arif mendukung kerja Pansus TRAP DPRD Bali yang berani menyentuh isu sensitif soal aset dan perizinan.

Made Supartha memaparkan kerja Pansus TRAP yang fokus pada penertiban tata ruang dan aset daerah. Namun ia mengingatkan, pariwisata Bali tidak boleh semata diposisikan sebagai mesin uang.

“Pariwisata Bali hanya akan bertahan jika berbasis lingkungan, kebudayaan, dan adat istiadat. Jika tidak, maka Bali hanya jadi panggung kapitalisme global,” katanya.

Prof. Arif mengamini. “Ketika turis datang, mereka ingin bahagia dan terlindungi, tapi yang pertama mereka cari justru budaya Bali. Kalau budaya ini hilang, Bali tidak ada bedanya dengan destinasi lain,” ungkapnya.

Diskusi menyinggung Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 yang menekankan pembangunan berbasis keberlanjutan. Dari sinilah muncul gagasan “eco-kebudayaan” kebudayaan yang tidak hanya dijaga, tapi juga dijadikan dasar pembangunan ekonomi Bali.

“Eco budaya ini lahir dari hulunya, dari ajaran Bung Karno yang menekankan kepribadian dalam kebudayaan,” jelas Prof. Arif.

Forum juga membedah UU Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali, Perda 100 Tahun Haluan Bali, dan Perda Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

Semua regulasi itu dianggap penting sebagai penegasan Bali bukan hanya ‘pulau wisata’, melainkan pusat kebudayaan Nusantara.

Made Supartha menegaskan dukungannya: “Kita harus kawal ruang-ruang izin dan aset demi anak cucu. Bali tidak boleh jadi korban eksploitasi.”

Prof. Arif menutup diskusi dengan kutipan tegas: *Eva Satyam Eva Jayate*, hanya kebenaran yang akan menang.

Diskusi di Museum Agung Pancasila ini menunjukkan bahwa tantangan Bali ke depan tidak semata pada sektor teknis pembangunan, melainkan pada dimensi ideologis: bagaimana menjaga Bali dari dominasi pasar bebas kapitalisme.

Kajian politik ekonomi kiri melihat kapitalisme global cenderung menghisap nilai budaya lokal, menjadikannya sekadar “branding” tanpa substansi.

Dalam perspektif ekonomi-politik Pancasila, Bali tidak boleh direduksi sebagai “pasar wisata”, melainkan harus diposisikan sebagai pusat kebudayaan yang berdaulat atas ruang, tanah, dan sumber daya.

Pasal 33 UUD 1945 memberi arah jelas: pembangunan harus berbasis kemakmuran rakyat, bukan segelintir pemilik modal.

Konsep “eco-kebudayaan” yang muncul dalam forum ini adalah jawaban alternatif terhadap neoliberalisme: pembangunan yang menyeimbangkan ekologi, budaya, dan ekonomi, sekaligus menjadikan Pancasila sebagai landasan etika. Tanpa itu, Bali berisiko terjebak dalam “kapitalisme turistik” yang hanya menguntungkan investor asing, sementara masyarakat adat terpinggirkan.

Diskusi kebangsaan ini akhirnya menegaskan: benteng terakhir Bali bukanlah hotel megah atau bandara internasional, melainkan kebudayaan dan Pancasila yang hidup dalam masyarakatnya. (By/Red)

Continue Reading
Click to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Nasional

Tasyakuran Dapur SPPG di Lembung Passeser: Ikhtiar Bersama Bangun Generasi Sehat Madura

Published

on

Bangkalan — Terik matahari menyengat Desa Lembung Passeser, Kecamatan Sepulu, Kabupaten Bangkalan, Minggu siang (5/10/2025). Di tengah semilir angin laut utara yang kering, puluhan warga berkumpul dalam suasana penuh harap dan syukur, memperingati berdirinya Dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG).

Program ini menjadi bagian dari Gerakan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diamanahkan oleh BGN dan dilaksanakan oleh Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Al Azhaar Indonesia.

Acara tasyakuran dimulai dengan Istighosah Dzikir Jama’i, dipimpin oleh KH. Rozi Munawi. Doa bersama ini menjadi landasan spiritual sebelum memulai pelayanan gizi yang ditujukan untuk anak-anak di wilayah Kecamatan Sepulu dan sekitarnya.

“Kita mulai dengan istighosah agar segala niat baik ini mendapat berkah dan perlindungan dari Gusti Allah Ta’ala,” ujar Abah Imam, Ketua Dewan Pembina YPI Al Azhaar Indonesia, dalam arahannya kepada para relawan dan tokoh masyarakat yang hadir.

Tampak hadir sejumlah tokoh penting dalam acara ini, antara lain KH. Abdul Fatah (Ketua MWCNU), Ketua MUI Sepulu, Kepala Puskesmas Kecamatan Sepulu, serta para pengasuh pesantren di wilayah Bangkalan bagian utara.

Abah Imam menekankan bahwa MBG bukan sekadar program bantuan makanan, tetapi merupakan bentuk dakwah sosial dan investasi masa depan bangsa.

“Berhidmat dalam program MBG ini adalah bagian dari dakwah. Ini amanah untuk masa depan anak-anak kita. Mereka harus tumbuh sehat, cerdas, dan penuh kasih sayang agar bisa menjawab tantangan zaman,” tegasnya.

Dukungan juga datang dari Camat Sepulu, H. Hosun, S.Pd, MM, yang menyebut SPPG sebagai langkah nyata dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.

“Program ini bukan hanya soal gizi, tapi juga tentang tanggung jawab moral kita semua untuk menciptakan generasi unggul. Ini investasi jangka panjang yang sangat strategis,” terangnya dalam sambutan.

Senada dengan itu, Danramil Sepulu, Kapten Erfan, menyebut MBG sebagai bukti kehadiran negara dalam upaya menjamin masa depan generasi muda.

“Ini program Pak Presiden Prabowo yang luar biasa. Harus kita dukung bersama, karena manfaatnya sangat besar  tidak hanya untuk anak-anak, tetapi juga memberdayakan masyarakat lokal,” ujarnya kepada awak media.

Hadir pula Kapolsek Sepulu, IPTU Wiwit Heru Santoso, yang menyampaikan bahwa SPPG dapat menjadi wadah sinergi antar sektor untuk mewujudkan pelayanan sosial yang efektif dan berkelanjutan.

Dari Pesisir Madura, Untuk Anak Bangsa.

Semangat gotong royong tampak nyata dalam peresmian dapur SPPG ini. Kepala Desa Lembung Passeser sekaligus investor utama pembangunan dapur, H. Abdur Rahman, SM, menyampaikan rasa syukur dan harapannya agar dapur ini menjadi pusat pemberdayaan ekonomi lokal.

“Seluruh relawan SPPG adalah warga Lembung Passeser. Ini bentuk nyata dari kearifan lokal. Harapannya, dapur ini juga bisa menyerap hasil bumi warga dan menjadi berkah bagi desa kita,” ujarnya.

Namun demikian, ia juga mengingatkan pentingnya menjaga standar kualitas bahan dan kebersihan makanan.

Ia menaruh kepercayaan kepada Mbak Shofi, selaku Kepala SPPG Lembung Passeser, untuk mengawal hal ini.

“Mbak Shofi harus benar-benar mengawasi proses pengolahan. Jangan sampai kualitas makanan menurun. Sekarang ini, banyak kasus keracunan justru karena lalai dalam higienitas,” pesannya.

Santunan Yatim, Simbol Kepedulian Sosial.

Sebagai penutup acara, dilakukan santunan kepada delapan anak yatim oleh Kepala Desa H. Abdur Rahman dan Kasatpel SPPG, Mbah Shofi. Momen ini menjadi pengingat bahwa pelayanan sosial tidak hanya tentang pemenuhan kebutuhan fisik, tapi juga soal kasih sayang dan kepedulian terhadap sesama.

Di tengah panasnya siang, satu harapan tumbuh kuat: dari dapur kecil di pesisir Madura ini, semoga lahir generasi besar yang sehat, cerdas, dan berakhlak mulia demi masa depan Indonesia yang gemilang. (DON/Red)

Continue Reading

Jawa Timur

Selapan Sabtu Wage, 600 Jama’ah Hadiri Istighosah Dzikir Jama’i di Pesantren Krapyak Mayong Lamongan

Published

on

Lamongan — Suasana religius penuh kekhusyukan menyelimuti Pondok Pesantren Krapyak yang terletak di Dusun Mayong, Desa Sidomlangean, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan, pada Jumat malam, 3 Oktober 2025.

Pada malam itu, ratusan jama’ah dari berbagai daerah memadati halaman pesantren dalam rangka menghadiri rutinan selapan Sabtu Wage: Istighosah Dzikir Jama’i, sebuah tradisi keagamaan yang telah mengakar kuat di tengah masyarakat Mayong dan sekitarnya.

Tercatat sekitar 600 jama’ah hadir dalam majlis tersebut.

Kehadiran Habib Hilmy Jakfar Baraqbah, munsyid dari Pondok Pesantren Nurul Haromain Pujon, Malang, menambah semarak suasana.

Seusai pembacaan dzikir dan doa bersama, Habib Hilmy memimpin lantunan sholawat yang diikuti dengan penuh semangat dan kekhidmatan oleh seluruh jama’ah.

Pengasuh Pesantren Krapyak Mayong, KH. Imam Mawardi Ridlwan, dalam taujih-nya menjelaskan bahwa Istighosah Dzikir Jama’i yang rutin dibaca merupakan rangkaian amalan yang disusun oleh gurunya, Abi KH. M. Ihya’ Ulumiddin.

“Istighosah ini bukan sekadar dzikir, tapi juga bentuk pengagungan kepada Allah Ta’ala. Isinya adalah permohonan keselamatan, kebaikan bagi diri kita, keluarga, masyarakat, desa, hingga bangsa,” jelas Abah Imam.

Lebih lanjut, beliau menekankan bahwa dzikir jama’i ini telah menjadi ibadah yang masyhur di kalangan umat Islam sejak zaman Wali Songo.

Menurutnya, melalui istighosah, masyarakat dapat memperbanyak amal kebaikan dan membentuk lingkungan yang damai, rukun, serta saling menguatkan.

“Melalui istighosah, kita berlatih untuk memperbanyak amal kebajikan sehingga masyarakat menjadi damai dan guyub rukun,” pesan beliau.

Tradisi Selapan yang Telah Mengakar.

Tradisi Selapan Sabtu Wage ini telah berlangsung hampir empat tahun, sebagaimana disampaikan oleh Mbah H. Katjung Pramono, Ketua Umum Yayasan Bani Kyai Tasir Mayong.

“Tradisi ini kini menjadi bagian dari budaya spiritual masyarakat Kedungpring. Setiap malam Sabtu Wage, masyarakat rutin berdzikir, bersholawat, dan mengaji ilmu agama bersama-sama,” ujarnya.

Pemilihan hari Sabtu Wage sendiri merupakan hasil dari musyawarah para sesepuh dan tokoh agama setempat. Dalam pandangan masyarakat, hari tersebut diyakini sebagai hari yang penuh keberkahan.

Menurut Mas’ud Efendi, Kepala Dusun Mayong, kegiatan ini bertujuan memperkuat ikatan spiritual antarwarga, mempererat tali silaturahmi, serta menjadi wadah menyampaikan doa-doa kebaikan untuk keluarga, masyarakat, dan bangsa.

Dimulai Tepat Waktu, Suasana Tertib dan Penuh Kekhusyukan.

Sejak selepas Maghrib, para jama’ah mulai berdatangan. Tepat pukul 19.30 WIB, Istighosah Dzikir Jama’i dimulai. Tanpa menggunakan kursi, jama’ah duduk bersila dengan tertib mengikuti setiap rangkaian acara hingga selesai.

Di akhir tausiyahnya, Abah Imam kembali menekankan pentingnya menjaga keistiqomahan, memperkuat pondasi keluarga dengan wirid, tarbiyah, dan keteladanan, serta berterima kasih kepada seluruh pihak yang telah berkhidmat.

“Saya ucapkan terima kasih kepada warga Dusun Mayong, tim hadroh Al Muhibbin Kabupaten Lamongan, para jama’ah, dan seluruh panitia yang telah ikut menyukseskan acara malam ini,” ucapnya.

Beberapa tokoh dan ulama yang turut hadir dalam majlis tersebut antara lain:

Mbah Guru H. M. Ridlwan, Kyai Mas’ud Amin Ngimbang, H. Mudlofar Blawi, H. Erhamny Tuban, Ustadz Asrofi Tuban, Abah Aziz Surabaya, KH. Ali Ahsin, KH. Sutrisno, H. Saekan, dan Pak Aziz Surabaya. (DON/Red)

Continue Reading

Nasional

Usai KPK OTT Hibah Jatim, Aktivis Peringatkan “Prabowo Subianto Big Projects” Rawan Korupsi

Published

on

JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperlihatkan keseriusannya dalam mengusut dugaan korupsi dana hibah untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Pemerintah Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2019-2022, pada Kamis (2/10).

Lembaga anti rasuah itu menahan empat tersangka baru yang diduga sebagai pemberi suap kepada mantan Ketua DPRD Jatim, Kusnadi.

Keempat tersangka tersebut adalah Hasanuddin (HAS), anggota DPRD Jatim periode 2024-2029 asal Kabupaten Gresik; Jodi Pradana Putra (JPP), pihak swasta dari Kabupaten Blitar; Sukar (SUK), mantan Kepala Desa dari Kabupaten Tulungagung; dan Wawan Kristiawan (WK), pihak swasta asal Tulungagung.

Plt. Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur Rahayu, dalam konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, menyatakan bahwa keempatnya akan ditahan selama 20 hari pertama, terhitung dari 2 hingga 21 Oktober 2025, di Rutan Cabang KPK Merah Putih. Satu tersangka lain, inisial AR, belum dapat diperiksa karena mengajukan penjadwalan ulang dengan alasan kesehatan.

Aktivis: Program Prabowo Beranggaran Raksasa Harus Diwaspadai.

Langkah tegas KPK ini mendapat dukungan penuh dari kalangan aktivis.

Fredi Moses Ulemlem, praktisi hukum dan aktivis anti-korupsi, menegaskan bahwa pemberantasan korupsi harus menjadi agenda bersama.

Ia menyoroti dampak korupsi yang dinilainya lebih berbahaya daripada utang negara.

“Di tengah ketidakberdayaan negara menghadapi korupsi yang merajalela, kita tidak punya pilihan lain selain mendukung KPK. Upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus diperkuat. Kalau KPK melemah, habislah negara ini,” ujar Fredi, pada Jumat (3/10).

Fredi mengingatkan agar program-program pemerintahan Presiden Prabowo yang menganggarkan dana jumbo harus dikontrol dengan ketat.

Menurutnya, tanpa transparansi, dana raksasa itu berpotensi bernasib sama seperti kasus hibah di Jawa Timur.

“Program besar Prabowo yang menelan anggaran raksasa harus hati-hati dikontrol. Tanpa transparansi dan keterbukaan publik, dana itu bisa saja dibelokkan jadi bancakan para elite. Ini bukan sekadar soal pembangunan, tapi soal menyelamatkan uang rakyat dari penghisapan sistematis,” tegasnya.

Ia mendesak agar setiap program pemerintah diaudit secara berkala dan hasilnya dipublikasikan secara terbuka untuk memenuhi hak publik.

Pun, pihaknya juga mengingatkan bahwa korupsi telah diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kejahatan serius melalui Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).

“Korupsi itu bukan sekadar pelanggaran hukum lokal, tapi kejahatan global. Kalau bangsa ini masih mau berdiri tegak, maka jalan satu-satunya adalah melawan korupsi tanpa kompromi,” pungkasnya.

Kasus korupsi dana hibah Jawa Timur kembali menjadi pengingat betapa uang rakyat rentan dijadikan alat transaksi.

Di tengah program pembangunan berskala nasional, pengawasan yang ketat dan transparansi mutlak diperlukan untuk memastikan anggaran negara benar-benar sampai pada sasaran dan tidak kembali dikorupsi oleh segelintir orang. (By/Red)

Editor: Joko Prasetyo

Continue Reading

Trending